Novel-Novel Cerita Detective

Mengapa Tommy Dituduh?
KETIKA bom demi bom berledakan dan korban jatuh di mana-mana, tiba-tiba kita menjadi rindu pada sosok Sherlock Holmes. Detektif swasta rekaan Sir Arthur Conan Doyle itu selalu berhasil menangkap pelaku kejahatan yang lihai karena kecermatannya menganalisis medan dan mendapatkan bukti-bukti yang bagi orang awam disangka tak bernilai. Sebuah kemampuan yang sangat diharapkan kehadirannya di Tanah Air, pada saat aparat keamanan Indonesia tak juga berhasil mengungkap berbagai kasus bom belakangan ini.
Sayang, Sherlock Holmes hanyalah sebuah sosok fiksi, sedangkan rentetan ledakan yang telah terjadi dan puluhan korban yang tewas dan luka-luka berada di alam nyata. Maka, apa boleh buat, yang dapat dilakukan hanyalah mencoba membayangkan bagaimana jalur pemikirannya jika tokoh legendaris ini benar-benar ada dan diminta bantuannya untuk menangkap dalang di belakang berbagai keonaran itu.
"Elementary my dear, elementary," begitu selalu nasihat sang Detektif kepada dr. Watson. Maka, dapat kita bayangkan bahwa karibnya itu akan bertanya kepada Sherlock Holmes: Apakah kenyataan bahwa berbagai kegaduhan yang selalu terjadi tak jauh dari saat Tommy Soeharto atau ayahnya sedang mendapat tekanan hukum merupakan bagian penting dari elementary itu? Atau justru sebaliknya, ada pihak yang ingin orang ramai mengambil kesimpulan seperti itu demi kepentingannya? Jika ya, kepentingan apa?
Lagi-lagi sayang, Sherlock Holmes hanyalah tokoh fiksi dan—sayang yang lain—Presiden Abdurrahman Wahid bukanlah Sherlock Holmes. Itu sebabnya ketika Gus Dur menuduh Tommy Soeharto sebagai sang dalang dan meminta pihak kepolisian untuk menangkapnya, kita tak yakin cerita sudah berada di ujung akhir dan sebuah happy ending sedang duduk menunggu di pinggir jalan. Lagi pula, mungkinkah sebuah kisah ditutup dengan kegembiraan tatkala taburan bunga di kuburan para korban belum lagi kering?
"Elementary my dear, elementary." Soeharto dan keluarganya boleh saja sama sekali tak terlibat dengan berdentumannya bom di berbagai pelosok Tanah Air, tapi bukan berarti mereka tak boleh masuk bui. Bukankah mereka semua masih mempunyai utang begitu besar kepada negara? Juga bukankah lembaga gijzeling (sandera) telah disiumankan kembali oleh Mahkamah Agung untuk mengerangkeng mereka yang utangnya kepada pemerintah di atas Rp 1 miliar?
Jawabannya adalah: ya dan ya.
Walhasil, inilah kesempatan pemerintah untuk menegakkan rasa keadilan di masyarakat melalui perangkat hukum yang berlaku. Jangan lupa, penjahat bengis seperti Al Capone, yang mempunyai reputasi sebagai pembunuh dan pemerkosa berdarah dingin, bisa dimasukkan ke bui karena hal yang kelihatannya sepele: alpa membayar pajak. Elliott Ness, komandan satuan polisi yang membuktikan timnya kebal atau untouchable dari godaan suap dan teror, mempunyai keyakinan bahwa penjara punya efek gerus yang luar biasa terhadap karisma gembong penjahat seperti Al Capone. Keyakinan yang terbukti benar, karena semakin lama bos mafia Chicago itu berada di balik terali besi, semakin banyak orang yang berani maju untuk menjadi saksi, dan semakin tertutup pintu Al Capone untuk mendapatkan kembali kekuasaan masa lalunya.
Elliott Ness, untungnya, bukan tokoh fiksi kendati layar Hollywood cenderung menggelincirkan kita pada kesimpulan itu. Al Capone juga bukan tokoh rekaan dan kebengisannya bukanlah dongeng untuk menakut-nakuti anak ketika waktu tidur datang menjenguk. Mereka adalah tokoh-tokoh dari kisah nyata. Oleh karena itu, alangkah bodohnya mereka yang menutup diri untuk memetik pelajaran dari masa lalu.
Harus diakui bahwa Jakarta tak sama dengan Chicago dan Tommy Soeharto bukanlah Al Capone. Tapi mari kita simak apa yang pernah terjadi. Kaca jendela ruang Komisi V DPR pecah berantakan ditembak, 13 Maret 2000, pada hari yang sama putra bungsu Soeharto berkunjung ke DPR menjelaskan soal BPPC. Tiga bulan kemudian, 4 Juli 2000, bom meledak di gedung Kejaksaan Agung satu jam setelah Tommy Soeharto diperiksa, dan dua bom lain—yang berstandar militer—diamankan. Hampir sebulan kemudian, 1 Agustus 2000, bom besar meledak di depan rumah Duta Besar Filipina, tiga hari setelah Kejaksaan Tinggi menyerahkan berkas perkara Soeharto ke pengadilan. Lantas, pada 28 Agustus 2000, granat meledak di gedung Kedutaan Besar Malaysia, tiga hari sebelum pengadilan pertama Soeharto. Dua hari kemudian sebuah metromini meledak di dekat kantor Departemen Pertanian, yang akan dijadikan lokasi pengadilan Soeharto keesokan harinya. Pekan lalu, sehari sebelum sidang kedua Soeharto bergulir, sebuah bom meledak di Bursa Efek Jakarta dan menewaskan belasan orang yang tak mengerti mengapa mereka menjadi sasaran.
Pola seperti ini sulit diterima akal sehat sebagai kebetulan belaka. Kemungkinannya memang lebih terbatas pada adanya kaitan antara semua kegiatan itu dengan Keluarga Cendana, atau ini memang rekayasa orang-orang yang ingin masyarakat mengambil kesimpulan seperti itu.
Untuk menilainya secara obyektif, tentu sulit. Lebih mudah memasukkan Keluarga Cendana dan kroninya ke bui melalui jalur lembaga gijzeling dan mencermati apakah selama mereka ada di dalam ledakan-ledakan juga tetap terjadi.
"Elementary my dear, elementary." Kita memang harus belajar dari Sherlock Holmes bahwa untuk menuntaskan sebuah kasus, tak selalu harus melalui pembuktian langsung. Juga dari Elliott Ness, yang percaya: banyak jalan untuk membawa para pelanggar hukum ke penjara.

The Liebermann Papers : A Death in Vienna
Tuhan, ampuni aku atas apa yang telah kulakukan. Di dunia ini memang ada pengetahuan yang terlarang. Ia akan membawaku ke neraka—dan tak ada jalan untuk bertobat.Pesan yang mirip surat bunuh diri ini ditemukan di dekat tubuh Charlotte Löwenstein, wanita medium misterius yang ditemukan tewas dengan luka tembak di ruangan yang terkunci dari dalam. Tak ditemukan senjata, tak ada jejak peluru. Benarkah dia bunuh diri? Mungkinkah itu pembunuhan supernatural? Adakah hubungannya dengan badai besar pada malam itu dan Seth, dewa kehancuran—dewa badai dan kejahatan?Dengan ketajaman analisisnya, psikiater muda Max Liebermann membantu sahabatnya, Inspektur Oskar Rheinhardt, memecahkan misteri kematian itu.Kedua tokoh ini mengajak kita menjelajahi Wina, kota eksotik Eropa yang kaya dengan seni, filsafat, musik, dan sains dalam seri The Liebermann Papers.***Frank Tallis—penulis dan psikolog klinis—yang mengajar psikologi klinis dan neurosains di Institute of Psychiatry dan King’s College London adalah salah satu pakar Inggris dalam bidang pembahasan tentang obsesi. Pada 1999, dia menerima penghargaan Writer’s Award dari Arts Council of Great Britain dan pada 2000 memenangi New London Writer’s Award (London Arts Board). Saat ini, dia tinggal dan bekerja di London. Kunjungilah www.franktallis. com.***“Mengembalikan aspek psikologis dalam kriminalitas ... ditulis oleh seorang ahli.”—Oliver James“‘Sherlock Holmes’ bertemu Freud dalam cerita yang mengasyikkan ... misteri (psikologis) dalam balutan investigasi.”—Guardian“Frank Tallis tahu benar apa yang ditulisnya dalam cerita misteri yang mengagumkan ini ... paparannya tentang eksotisme Eropa masa itu tak tertandingi.”— The Times“Orisinal dan menggelitik.”
Seorang wanita ditemukan tewas di apartemennya dengan meninggalkan pesan misterius. Wanita itu bernama Charlotte Löwenstein, dan dikenal sebagai seorang mediator. Setiap minggu, sekelompok orang datang ke apartemennya untuk upacara pemanggilan arwah. Lötte, begitu ia dipanggil, meninggal dengan luka tembak di dadanya. Tapi, fakta yang ada menunjukkan berbagai keanehan, pintu terkunci dari dalam, tidak ada tanda-tanda orang bisa melarikan diri, lalu ketika dilakukan otopsi, tidak ditemukan peluru dalam tubuh Lotte.Tepat di malam kematian Lötte, badai hebat sedang melanda Wina. Kematian Lötte kemudian dikaitkan dengan persekutuan dengan setan. Ada kekuatan supranatural yang ‘terlibat’ dalam kematian itu. Fakta itu didukung dengan pesan teakhir yang ditinggalkan Lotte.Kepolisian setempat yang dipimpin Inspektur Oskar Rheinhardt berusaha memecahkan kasus ini. Meskipun berusaha menggunakan akal sehat dan dengan berdasarkan fakta yang ada, penyelidikan menemui jalan buntu. Akhirnya, Inspektur Rheinhardt meminta bantuan Max Liebermann, seorang psikiater, untuk ikut dalam penyelidikan. Lieberman berusaha menganalisa fakta yang ada dilihat dari sisi yang berbeda. Para tersangka kemungkinan adalah tamu-tamu yang terlibat dalam upacara pemanggilan arwah. Sementara itu, selain membantu Inspektur Rheinhardt, Liebermann sendiri menghadapi masalah di rumah sakit tempat ia bekerja. Sebuah eksperimen sedang diuji coba. Liebermann tidak setuju dengan sesi elektropi yang dilakukan rekan sejawatnya dalam pengobatan pasien. Ia lebih memilih pendekatan psikologis dalam mengobati trauma seseorang. Salah satu pasiennya, Amelia Lydgate, mengalami kelumpuhan dan ada kecenderungan memiliki kepribadian ganda. Liebermann melakukan pendekatan lewat metode hipnotis untuk menelusuri penyebab trauma yang dialami pasiennya. Miss Lydgate inilah yang nantinya akan membantu Inspektur Rheinhardt dan Liebermann dalam memecahkan kasus kematian Charlotte Löwenstein.Melalui berbagai analisa dan penyelidikan, akhirnya terungkaplah siapa Charlotte Löwenstein sebenarnya, bagaimana masa lalunya, dan apa benar ia terlibat persekutuan dengan setan.Masalah pribadi Liebermann juga sempat ‘diulik’, tentang keraguannya untuk meneruskan pertunangannya dengan Clara ke jenjang selanjutnya.Novel ini dibuka dan ditutup dengan kalimat yang sama, kalimat yang diucapkan Max Liebermann, yaitu: Itu adalah hari saat terjadinya badai besar. Aku ingat dengan baik karena ayahku – Mendel Liebermann – mengundangku untuk minum kopi di The Imperial. Aku curiga bahwa dia punya maksud tertentu…Buku ini mengajak kita menelusuri kota Wina, diiringi alunan piano musik klasik yang dimainkan oleh Liebermann dan diiringi nyanyian Oskar Rheinhardt. Alur cerita sedikit lambat, tapi bab-babnya yang pendek bisa membuat pembaca penasaran, karena di akhir setiap bab ada misteri baru yang menyisakan tanda tanya.

No comments:

Gyarari

Gyarari